Sudah seminggu nih nggak kerasa aku menapaki ibu kota. ada banyak teman dan orang-baru aku temui dan tentu juga banyak pengalaman menarik yang aku temui. Dulu waktu di Jogja aku aktif di kegiatan social. Ada YSS, Sanggar Taliwangsa, Yayasan Soran, ada banyak lagi deh. Bukan berati aku sok sosial, tapi ini semua karena keinginaku berbagi dengan orang lain. Emang sih sepertinya ku sudah hebat dengan semua itu. Sosial, perduli pada orang pinggiran dan anak jalanan. Tapi semua itu tidak berarti ketika aku bertemu dengan sosok tua yang sering di panggil Pakde Sus. Pak de Sus orang sederhana yang hidup dan tinggal di sekitar bantaran kalimalang, Dia entah dari mana modal dan idenya berhasil mengumpulkan dan membina anak-anak jalanan ibu kota hingga akhirnya bisa mandiri.
Pertemuan itu terjadi tidak dengan senggaja. Kebetulan anak bosku adalah seorang mantan seminaris juga nggak beda dengan aku yang juga mantan seminaris. Biasalah seorang mantan seminaris itu pasti punya banyak teman dari strata sosial yang bisa dikatakan rendahan atau lebih keren di sebut orang pinggiran. Malam itu ada perayaan hari nak Nasional disebuah sanggar yang letaknya nggak jauh dari bantaran kali. Sanggar itu bernama sanggar akar. Sanggar akar itu dipimpin oleh orang yang sangat sederhana. Lagi-lagi aku bertemu dengan orang-orang sederhana dari Jogja yang selalu punya idealisme membagikan sebagian kemapuan dan pengetahuanya pada-orang-orang sekitar yang kurang mampu untuk belajar lebih. Ada wartawan salah satu TV Swasta, ada pemusik, ada pemain teater dan ada pula anak jalanan. Yang semua sayang dengan sosok Pak De Sus, seorang sederhana tapi memberikan hidupnya pada generasi bangsa ini yang kurang beruntung.
Dia sendiri seorang pengajar di sebuah sekolah yang sangat lumayan tenar dan menjadi salah satu sekolah favorit di ibu kota ini. Mungkin mengajar ekstrakulikuler tidak seberapa besar penghasilanya, namun semangtanya untuk mendidik dan membina sebagian anak bangsa yang kurang berutung selalu membakar dirinya. Entahg bagaimana Tuhan menyelengarakan itu semua nyatanya ketika anak-anak tiu berkumpul dan membuat sebuah pentas memperingati hari anak nasional itu terwujud, bahakan sampai bersa pun mereka kekurangan tetapi ada saja orang yang terketuk hatinya untuk membantu mereka.
Pak De Sus bukan sorang yang hebat, punya nama atau public figure, tapi dia mau dengan iklas menyediakan tempat dan tenaga serta pikiranya untuk anak-anak bangsa ini. Mendidik, menampung dan memberi mereka bekal hidup agar bangsa ini nggak semakin terpuruk. Aku masih terus bersyukur saat banyak cerita dalam hidupku memberi gambaran indah tentang masa dimana kita harus selalu berbagi cinta dengan sesama. Pak De Sus mungkin aku tak sehebat dan punya semangat sebesar dirimu, tapi aku ingin menjadi sepertimu Mengobarkan semangat pelayanan meski harus berurai darah dan air mata.
Pertemuan itu terjadi tidak dengan senggaja. Kebetulan anak bosku adalah seorang mantan seminaris juga nggak beda dengan aku yang juga mantan seminaris. Biasalah seorang mantan seminaris itu pasti punya banyak teman dari strata sosial yang bisa dikatakan rendahan atau lebih keren di sebut orang pinggiran. Malam itu ada perayaan hari nak Nasional disebuah sanggar yang letaknya nggak jauh dari bantaran kali. Sanggar itu bernama sanggar akar. Sanggar akar itu dipimpin oleh orang yang sangat sederhana. Lagi-lagi aku bertemu dengan orang-orang sederhana dari Jogja yang selalu punya idealisme membagikan sebagian kemapuan dan pengetahuanya pada-orang-orang sekitar yang kurang mampu untuk belajar lebih. Ada wartawan salah satu TV Swasta, ada pemusik, ada pemain teater dan ada pula anak jalanan. Yang semua sayang dengan sosok Pak De Sus, seorang sederhana tapi memberikan hidupnya pada generasi bangsa ini yang kurang beruntung.
Dia sendiri seorang pengajar di sebuah sekolah yang sangat lumayan tenar dan menjadi salah satu sekolah favorit di ibu kota ini. Mungkin mengajar ekstrakulikuler tidak seberapa besar penghasilanya, namun semangtanya untuk mendidik dan membina sebagian anak bangsa yang kurang berutung selalu membakar dirinya. Entahg bagaimana Tuhan menyelengarakan itu semua nyatanya ketika anak-anak tiu berkumpul dan membuat sebuah pentas memperingati hari anak nasional itu terwujud, bahakan sampai bersa pun mereka kekurangan tetapi ada saja orang yang terketuk hatinya untuk membantu mereka.
Pak De Sus bukan sorang yang hebat, punya nama atau public figure, tapi dia mau dengan iklas menyediakan tempat dan tenaga serta pikiranya untuk anak-anak bangsa ini. Mendidik, menampung dan memberi mereka bekal hidup agar bangsa ini nggak semakin terpuruk. Aku masih terus bersyukur saat banyak cerita dalam hidupku memberi gambaran indah tentang masa dimana kita harus selalu berbagi cinta dengan sesama. Pak De Sus mungkin aku tak sehebat dan punya semangat sebesar dirimu, tapi aku ingin menjadi sepertimu Mengobarkan semangat pelayanan meski harus berurai darah dan air mata.
Jakarta, 22 July 2007
Salam Anak Bangsa
Salam Anak Bangsa