Sejak aku ada di Jakarta untuk menanti keberangkatanku di tempat kerja yang sebenarnya, akyu menemukan banyak hal yang kurasa janggal dalam hidup tapi nyatanya memang ada. Saat aku berangkat dari Jogja, meninggalkan kota tercinta yang telah banyak menorehkan asa dan cinta kereta terlambat hapir 3 jam lamanya. Akhirnya aku sampai ke Jakarta sudah sangat terlambat. Dengan adanya keterlambatan itu membuat semua rencana kacau beliau.
Seharusnya aku sampai ke kantor baruku bisa lebih pagi, menghindari macet dan menghindari suasana tidak nyaman kota ini, kenyataanya aku sendiri di hari pertama sudah di hadapakan dengan adanya banyak permasalahan kota besar. Kota yang menyaratkan banyak cerita dan warna yang akhirnya justru membawa aku dalam penyadaran bahwa pedalaman adalah habitat yang paling menarik untuk diriku. Habitat dimana topeng-topeng yang biasa ku kenakan harus di lepas dan di buang karena topeng itu akan menyulitkan aku untuk dapat hidup dalam perjuangan.
Bicara soal topeng-topeng hidup diperkotaan ada cerita menarik dari pengalamanku nyasar di kota besar ini. Paradikma salah yang mungkin selalu mengelayut di benak anak muda dari daerah yang merantau ke ke kota besar sebesar Jakarta ini. “ibu tiri tak sekejam ibu kota” inilah jargon salah kaprah yang selalu di dengungkan orang dari jaman-kejaman dengan berbagai latar belakang. Mungkin banyak kepentingan dengan jargon itu, dalam benakku jargon itu hanya di gunakan untuk mengurangi kepadatan pendunduduk kota besar dan memperlebar lapangan kerja, atau barangkali hanya untuk meredam agar orang daerah tidak membanjir di kota besar yang bergelimang kenikmatan, kesempatan, bergelimang dosa dan permasalahan.
“Ibu Tiri memang tidak sekejam ibu kota” atau paradikma ini dapat di balik begitu saja sehingga menghasilkan paradikma yang lebih berpengharapan. Paradikama itu menjadi “Ibu kota lebih ramah dari pada ibu tiri tergantung PDKTnya booo!” bagaiman saya dapat berpikir seperti ini? Karena saya telah merasakanya sendiri. Begini ilustrasinya ; seorang anak muda dengan PDnya meninggalkan desanya untuk merantau ke kota besar tanpa bekal keterampilan atau pendidikan cukup dan juga relasi. Lalu sampai di kota besar jadi gelandangan, copet atau pereman atau hanya sekedar hidup yang nggak jelas. Ini hal yang wajar karena dari teori sosialnya saja sudah jelas bahwa persaingan dalam dunia ini menntut kemapuan untuk bersaing, siapapun dan apapun dia jika tidak mampu bersaing dengan modal sosial yang dimilikinya pasti akan kalah dalam merebut posisi social.
Lain halnya seorang pemuda yang hanya pengangugaran dengan pendidikan sederhana dan juga tidak pinter, tapi mau belajar dan memang di cepat menyesuaikan diri dengan lingkunganya dan pergaulanya yang luas. Pemuda itu pergi ke kota besar maka wajar juga ketika ia lebih cepat menapakkan kakinya dalam kancah pertempuran dunia kerja yang ganas dan tanpa ampun. Tetapi karena modal sosialnya berupa kenalan dan pergaulan serta kemapuanya untuk mampu belajar dengan cepat serta teman, relasi dan koneksinya banyaknya maka ia mampu bertahan pada situasi persaingan dunia yang begitu ketat seperti di ibu kota.
Dari dua ilustrasi ini menjadi sangat jelas bahwa modal sosial bagi seorang pekerja bukan semata-mata ilmu pengetahuan dan kepintaran tetapi modal sosial yang terutama adalah jaringan komunikasi. (networking) network adalah sebuah jaringan pertemanan dan persahabatan yang memungkinkan mematahkan proses kapitalisasi dan monopoli dalam usaha, sehingga dalam gaya networking ini yang saya sebut sebagai “PDKT“ dalam jargon hidup di kota besar yang penuh persaingan.
Maka dari itu jika anda orang muda yang ingin maju dan berkembang jangan pernah mengekor pada paradikma yang telah di lontarkan para senior yang ternyata bukan suatu “sabda” yang mutlak untuk di ikuti. Tak jarang sabda itu justru menyesatkan dan membuat orang muda enggan untuk explorasi. Satu pengalaman indah waktu saya nyasar di daerah Kalimalang Jakarta. Kalimalang itu kalau untuk Jogja tak jauh beda dengan Kali Mambu dan Kali Gebes yang saya bayangkan ketika saya nyasar di daerah itu adalah orang-orang cuek dan hanya sekedar dan sekenanya aja menjawab pertanyaan orang yang nyasar, ternyata paradikama Jakarta kota kejam, haram jadah, penuh sumpah serapah, ternyata masih menyimpan sedikit keramahan dan hospitality yang tidak sering aku rasakan di kota-kota kecil seperti Wonosari. Sedikit cerita mengenai peristiwa itu, malam itu sehabis “ngedete” di MM (Metropolitan Mall) Bekasi aku memutuskan untuk mampir di tempat seorang teman yang ternyata adalah saudara jauh dari keluarga bapak saya, namanya om Priyono. Sebelumya aku pernah main kerumah beliau tetapi malam itu memang karena aku sudah capek dan rencananya mau numpang tidur di rumah om Pri akhirnya aku nyasar sebelum ketemu rumahnya. Karena ternyata panggilan pak Yono yang selama ini aku gunakan untuk memanggil omku itu yang akhirnya menyesatkan aku. Ya pokoknya intinya aku nyari rumah pak Yono nyasar di rumah Pak Yon Maryono.
Masalahnya bukan siapa dan apa atau apapun melainkan soal ketulusan hati keluarga pak Yon Maryono menerima seorang musafir yang nyasar dan ternyata peritiwa itu mengluruhkan semua paradikama tentnag ibu kota yang serba tak bersahabat. Di sela gedung tinggi bertingkat dan ketiperdulian kota besar ini masih terselip warna indah yang terpancar dari ketulusan hati keluarga sederhana Pak Yon Maryono. Dan peristiwa itulah yang menjadi Turning point paradikma hidup aku mengenai ketidak bersahabatan kota besar yang bernama Jakarta yang adalah ibu kota dari Negara yang sedang diujung tanduk. Mungkin kesempatan ini menjadikan aku berani belajar dari kesederhanaan orang-orang pinggiran untuk mau menghargai dan membantu sesame tanpa pamrih. Inilah pelajaran pertama dan sekaligus perjalanan yang pertama dalam hidupku setelah aku keluar dari tempurung kelapa ke tololanku.
mitromoto 6 january 2007
Mencari Hidup Lebih Baik Dengan Permenungan Besama Alam Semesta