Seolah aku tak menyadarinya tapi aku menjalaninya, demikian aku harus paham bahwa nyanyian dan tarian perut yang lapar menjadi hiburan di hari-hariku yang selalu dalam kondisi yang selalu pilu. Aku selalu ada dalam kenyataan yang tak selalu mengenakkan. Hari ini aku lapar hari berikutnya aku tak merasakanya lagi. Begitu selalu ku alami disudut kota yang tak bersahabat ini. Aku melihat kesombongan yang kaki-kakinya menapakkan keangkuhan yang luar biasa, disisi lain yang aku lihat tarian perut kosong yang melilit seakan mejerit-jerit untuk diberi kelegaan. Aku berontak tapi apa daya aku tak pernah sanggup untuk melawanya. Kenyataan itu yang menjadikan aku semakin sadar bahwa hidup ini hanya sebuah panggung permainan yang aku sendiri tidak paham apa arti dan lakonnya.
Bumiku bergerak seakan tak paham dan mengerti apa arti gerakan itu. Gerakan yang tak jarang menghasilkan ilusi yang semu meski hari-hari yang ada membuat aku tak mau dan enggan menghadapi semuanya itu. Aku hendak menyerah kalah pada nasib dan keadaan, aku benci semua yang aku hadapi. Ya, tapi bukan itu maksudku, aku hanya ingin melawan melawan keadaan itu. Dalam doaku aku mengeluh padaNya “Tuhan dimana keadilan, kuasa, dan kerahimanMu, kenapa aku kau biarkan lapar dan tak mampu untuk menelan apapun yang Engkau berikan”, teriaku. Ya namun itu hanya teriakanku yang kosong belaka, aku tetap tak bergerak untuk memuasakan lapar dan dahagaku.
Sejenak aku tersentak akan ingatanku pada mereka yang mengantungkan nasibnya padaku. Air mataku tak tertahankan lagi, harapanku untuk mampu memberi mereka makan semakin menjadi hampa, aku tak tahu harus berbuat apa-apa lagi “ Tuhan…..Tuhan ku panggil namaMu biarkan aku merasakan nikmatnya anugerahMu”, tak satupun jawab aku terima. Semakin sedih dan bimbanglah hati dan pikiranku. Tak tahu lagi kemana aku cari apa yang akan aku makan, jangankan kok apa yang akan aku makan,lalu apa yang akan aku berikan pada mereka sedang aku sendiri lapar dan tak bisa memenuhi makananku sendiri. Ketakutan itu semakin menjadi tatkala kulihat orang-orang berlarian membawa golok dan petungan. Ah…..biarlah pikirku toh mereka tak akan pernah menyetuhku. Meski aku kelihatan dekil dan gembel toh aku buakan penjahat yang akan mereka kejar dan mereka bunuh.
Dalam kenyataanya aku memang bukan penjahat , atau maling yang layak untuk dijagal atau digebuki, bahkan aku tak layak untuk disakiti meski dengan kata-kata
Bumiku bergerak seakan tak paham dan mengerti apa arti gerakan itu. Gerakan yang tak jarang menghasilkan ilusi yang semu meski hari-hari yang ada membuat aku tak mau dan enggan menghadapi semuanya itu. Aku hendak menyerah kalah pada nasib dan keadaan, aku benci semua yang aku hadapi. Ya, tapi bukan itu maksudku, aku hanya ingin melawan melawan keadaan itu. Dalam doaku aku mengeluh padaNya “Tuhan dimana keadilan, kuasa, dan kerahimanMu, kenapa aku kau biarkan lapar dan tak mampu untuk menelan apapun yang Engkau berikan”, teriaku. Ya namun itu hanya teriakanku yang kosong belaka, aku tetap tak bergerak untuk memuasakan lapar dan dahagaku.
Sejenak aku tersentak akan ingatanku pada mereka yang mengantungkan nasibnya padaku. Air mataku tak tertahankan lagi, harapanku untuk mampu memberi mereka makan semakin menjadi hampa, aku tak tahu harus berbuat apa-apa lagi “ Tuhan…..Tuhan ku panggil namaMu biarkan aku merasakan nikmatnya anugerahMu”, tak satupun jawab aku terima. Semakin sedih dan bimbanglah hati dan pikiranku. Tak tahu lagi kemana aku cari apa yang akan aku makan, jangankan kok apa yang akan aku makan,lalu apa yang akan aku berikan pada mereka sedang aku sendiri lapar dan tak bisa memenuhi makananku sendiri. Ketakutan itu semakin menjadi tatkala kulihat orang-orang berlarian membawa golok dan petungan. Ah…..biarlah pikirku toh mereka tak akan pernah menyetuhku. Meski aku kelihatan dekil dan gembel toh aku buakan penjahat yang akan mereka kejar dan mereka bunuh.
Dalam kenyataanya aku memang bukan penjahat , atau maling yang layak untuk dijagal atau digebuki, bahkan aku tak layak untuk disakiti meski dengan kata-kata